Jurnalistik Pelajar Muh Pekalongan - Krisis kader yang menjadi problem Muhammadiyah, organisasi Islam modern terbesar di dunia, kini bukan wacana lagi, tetapi sudah mewujud dan konkrit serta menggejala dalam scoupe nasional. Degradasi kuantitas dan kualitas pelopor, pelangsung dan penyempurna amanah gerakan sangat terasa sekali mempengaruhi denyut nadi persyarikatan. Ada beberapa hal yang bisa kita jadikan indikasi terhadap hal ini. Pertama, sulitnya mencari orang yang mau menjadi pengurus Muhammadiyah, terutama pada level grass root. Hal ini menjadi faktor penyebab indikasi kedua yakni bertumpuknya jabatan sebagai pengurus Muhammadiyah dan/atau majelis dan ortomnya secara struktural-vertikal maupun struktural horisontal.
Ghirah berMuhammadiyah ini mulai terasa luntur pasca reformasi, di mana euforia kebebasan berpolitik mendapatkan space yang luas kepada publik untuk menyalurkan aspirasinya melalui puluhan partai politik baru. Agaknya, hukum keseimbangan permintaan-penawaran dalam prinsip ekonomi liberal juga berlaku dalam politik Indonesia pasca reformasi. Karena parpol yang sekian banyaknya membutuhkan konstituen untuk mendukung eksistensi mereka, maka kerumunan massa menjadi berharga, tidak peduli apakah benar kerumunan massa tersebut akan menyalurkan aspirasi politiknya melalui parpol itu.
Spontan slogan ”suara rakyat adalah suara tuhan” seolah-olah benar terjadi dan hak pilih mempunyai nilai ekonomis, tidak hanya politis. Hak pilih kemudian menjadi komoditas yang bisa diperjual-belikan. Nilai jual hak pilih ini juga berbanding lurus dengan latar belakang orang yang memilikinya. Semakin tinggi status sosial seseorang, maka harga hak pilihnya semakin tinggi pula. Seorang kyai yang memiliki basis massa banyak memiliki bargaining position yang kuat untuk mendapatkan ”janji” posisi strategis oleh parpol kontestan pemilu, sedangkan harga hak pilih seorang kuli atau pekerja kasar lain mungkin hanya sebesar harga kebutuhan pangannya dalam sehari.
Sering kita dengar celotehan kaum miskin (miskin harta dan miskin amanah): ”Ikut kampanye parpol anu, dapat berapa?,” atau ”Mau kampanye, mana kaosnya?”, ”Mumpung bisa cari uang dari politik, daripada uang negara hanya dimakan mereka sendiri?”. Sehingga kemudian kita mengenal istilah ”politik sepuluh ewuan” atau ”politik kaos”, artinya orang yang menyalurkan aspirasi politiknya jika diberi uang kampanye sepuluh ribu atau diberi kaos parpol tertentu.
Materialistik
Fenomena baru dalam kehidupan masyarakat kita ini kemudian menjadi kebiasaan: mencari keuntungan finansial jangka pendek dari semua aktivitas yang dilakukan. Ucapan dan tindakan seseorang kemudian berparadigma UUD (Ujung Ujungnya Duit). Orang menjadi malas melakukan sesuatu jika tidak ada keuntungan ekonomis. Kerja-kerja sosial menempati posisi marginal dalam kamus kehidupan masyarakat kita.
Ekses negatifnya bagi persyarikatan Muhammadiyah adalah semakin berkurangnya jumlah orang yang mau menjadi pengurusnya. Orang pun membandingkan antara menjadi pengurus Muhammadiyah dengan menjadi pengurus organisasi sosial, organisasi semi-birokrat atau organisasi sosial lain. Siap menjadi pengurus dan aktivis Muhammadiyah berarti siap hidup susah, karena Muhammadiyah tidak menawarkan keuntungan material dan finansial bagi pengurusnya. Malah sebaliknya, menjadi pengurus Muhammadiyah harus rela mengorbankan hartanya demi perjuangan. Orang Jawa bilang: ”Opo-opoan iki”.
Alasan manipulatif
Krisis kader dan pengurus Muhammadiyah ini, jika kita hadapkan pada kenyataan banyaknya amal usaha yang dimiliki Muhammadiyah artinya menggambarkan banyaknya karyawan amal usaha Muhammadiyah menjadi suatu hal yang ironis. Karena seandainya saja karyawan amal usaha Muhammadiyah bisa optimal diberdayakan sebagai pengurus Muhammadiyah dan/atau ortomnya, maka niscaya krisis pengurus Muhammadiyah tidak akan terjadi.
Sebagian besar karyawan amal usaha Muhammadiyah, terutama pada amal usaha di daerah perkotaan atau amal usaha yang besar, bukanlah pengurus Muhammadiyah. Kalau di daerah, militansi karyawan amal usaha Muhammadiyah masih bisa dibanggakan. Karyawan amal usaha Muhammadiyah yang mbalelo dan hipokrit ini pada umumnya mengajukan sejuta argumentasi omong kosong jika kita memintanya ikut aktif sebagai pengurus Muhammadiyah dan/atau ortomnya. Beberapa alasan yang sering dikemukakan untuk menutupi kebohongannya adalah:
- Saya ingin berjuang di Muhammadiyah dengan membesarkan amal usahanya, bukankah jika amal usahanya menjadi besar maka Muhammadiyah juga besar?, dan
- Saya bermuhammadiyah secara kultural, bukankah jika ubudiyah seseorang sesuai dengan tuntunan Rasulullah maka dia dapat dikatakan Muhammadiyah?
Alasan pertama yang mengatakan bahwa mereka ingin berjuang untuk Muhammadiyah dengan membesarkan amal usahanya. Ini adalah penipuan. Kita harus bisa membedakan antara Muhammadiyah (sebagai persyarikatan) dengan amal usaha Muhammadiyah (sebagai unit dakwah bernilai ekonomis). Menjadi aktivis Muhammadiyah adalah kerja sosial yang tidak menuntut bayaran, sedangkan menjadi karyawan amal usaha adalah kerja ekonomis yang menuntut imbalan materi. Atau secara kasar dapat kita katakan, menjadi pengurus dan aktivis Muhammadiyah adalah berjuang dan menjadi karyawan amal usaha adalah berkerja. Orang akan dibayar (uang) jika membesarkan amal usaha, tetapi seseorang tidak akan dibayar jika dia membesarkan (persyarikatan) Muhammadiyah. Setiap tugas dalam amal usaha berorientasi profit bagi pelakunya sedangkan setiap tugas dalam persyarikatan berorientasi eskatologis. Amal usaha adalah imanen sedangkan persyarikatan adalah transenden.
Alasan kedua yang menyatakan bahwa seseorang bisa dikatakan bermuhammadiyah hanya dengan berideologi Islam sama dengan ideologi Muhammadiyah, ini juga argumentasi manipulatif. Dalam kajian psikologis, seseorang yang mencintai atau menyukai sesuatu akan mempunyai kecenderungan dalam dirinya untuk selalu dekat dan memberikan yang terbaik bagi apa yang dicintainya. Termasuk seseorang yang jika memang benar-benar mencintai dan menyukai Muhammadiyah akan berusaha dekat dan memberikan yang terbaik dari dirinya kepada Muhammadiyah. Implementasinya, dalam konteks persyarikatan, adalah ikut ngramut Muhammadiyah dalam tataran praktis-empiris, tidak sekedar ideologis.
Term Muhammadiyah secara ideologis berlaku untuk obyek dakwah yang belum atau baru mengenal Muhammadiyah, yang tujuannya agar obyek dakwah tersebut merasa bahwa mereka juga orang Muhammadiyah. Namun selanjutnya, pengertian Muhammadiyah merujuk pada ideologi dan gerakan, tidak hanya ideologi saja. Jika orang sudah masuk dalam lingkungan Muhammadiyah, maka dia harus menjadi pengurus atau aktivis Muhammadiyah jika ingin dikatakan sebagai orang Muhammadiyah. Jadi ada semacam perjenjangan pemahaman hakikat bermuhammadiyah.
Karyawan amal usaha Muhammadiyah yang memberikan alasan kedua ini pada dasarnya adalah perusak Muhammadiyah, karena secara disadari atau tidak, dalam hatinya ada ke-engganan nggrutu (berpikir negatif) dengan Muhammadiyah. ”Dadi pengurus gak dibayar, kerjo gak dibayar”, ”Kerjo yo kerjo, organisasi yo seje maneh”, ”lek kerjo gak popo nang Muhammadiyah, lek berjuang yo nang kelompokku dewe”, dan berbagai ungkapan lain yang senada.
Idealnya, amal usaha Muhammadiyah adalah penyokong gerakan Muhammadiyah. Ini bisa diartikan seharusnya amal usaha Muhammadiyah bisa 'mengutamakan dan mengandalkan' aktivisnya sebagai penopang ekonomi di amal usaha muhammadiyah bukan mengutamakan dari luar karena mereka masih kerabat lah, karena akrab lah, karena lah lah yang lainya. Inilah maksud pesan KH. Ahmad Dahlan : ”Hidup-hidupilah Muhammadiyah, tetapi jangan mencari penghidupan di Muhammadiyah”. Makna-nya, jika seseorang hidup dari amal usaha Muhammadiyah, maka secara ideologis dan organisatoris dia wajib bermuhammadiyah. Tetapi sebaliknya, seseorang yang bermuhammadiyah secara ideologis dan organisatoris tidak selalu mencari penghidupan di Muhammadiyah. Tetapi realita sekarang di lingkungan kita bahkan saya sendiri banyak melihat para aktivis muhammadiyah yang rela berkorban demi muhammadiyah justru menjadi korban.
Gambaran di atas, memberikan kita bahwa masalah ini bisa menjadi bahaya bagi persyarikatan sekarang maupun di masa mendatang.
Sesungguhnya pematik telah dinyalakan untuk membakar sumbu bom untuk meledakkan Muhammadiyah dan waktu telah dihitung mundur. Pertanyaannya, siapa yang mau memadamkannya?